Ya, Aku orang kampung.
Ayah dan Ibuku adalah orang Batak. Suku Batak Toba tepatnya. Dan orang Batak selalu menyandang marga dibelakang namanya, sebagai penanda bahwa ia adalah penerus generasi leluhurnya. Aku generasi ke-16 dari marga yang kusandang dibelakang namaku.
Walaupun kami adalah suku Batak Toba, di tanah kelahiranku, orang seperti kami bukan orang mayoritas. Bukan mayoritas dalam artian secara suku, karena disini suku Batak Toba adalah pendatang. Pun soal Agama, boleh dibilang 99% penduduk disini beragama Muslim. Sejak kecil aku sudah terbiasa menjadi kaum minoritas. Jangan salah sangka, aku tidak bilang semua orang mayoritas bersikap buruk kepada kaum minoritas (seperti kami). Tetap ada saja memang, mereka yang fanatik sampai dibutakan kebodohannya sendiri, tapi sekali lagi, tidak semuanya.
Hal menyenangkan seputar perbedaan Agama di kampungku adalah waktu hari raya tiba. Kebiasaan disini adalah mengantarkan kue-kue dan makanan khas hari raya kepada tetangga yang beragama lain. Nah, sebagai gantinya, orang tua akan memberikan uang saku untuk anak-anak yang mengantar.
Lantas apa yang menyenangkan?
Ya jelas aja, kami kan minoritas. Jadi jelas hampir semua tetangga akan mengantarkan kue-kue dan makanan kerumah. Walaupun bukan hari raya kami, jangan tanya banyaknya makanan yang tersedia dirumah. Segala macam tersedia berlimpah ruah.
Sebaliknya kalau giliran hari raya kami yang tiba, aku bakal kerepotan mengantar kue-kue dan makanan kepada tetangga. Saking banyaknya tetangga yang harus diantaran makanan, sampai banyak yang nggak kebagian. Bukan karena makanannya habis, tapi yang ngantarin makanan udah nggak sanggup lagi.
Hadiahnya? Hehehehehe... jangan tanya lagi. Kalau dihitung-hitung, dalam sehari atau dua hari, aku bisa mengumpulkan uang saku yang jumlahnya kira-kira sama dengan gaji sebulan seorang PNS golongan II.