"Apa sebenarnya rencana-Mu untukku?"
Aku terus bertanya dan bertanya, meskipun aku sudah tahu, sesungguhnya itu tidak ada gunanya. Rencana-Nya jauh lebih megah dari yang bisa terbayangkan. Lebih besar, lebih kompleks, sempurna dan tidak seorangpun yang bisa menebaknya.
Hari ini, aku memutuskan untuk membuat ujian untuk diriku sendiri. Aku ingin menguji hatiku sendiri.
Aku memutuskan untuk memberikan waktu, untuk aku dan Herlina, masing-masing berpikir.
Kubiarkan ia menimbang, seperti apa sebenarnya keinginannya untuk masa depannya sendiri.
Kubiarkan ia mencoba untuk membuka hati dan menjalani hubungan dengan pria lain.
Bukan cuma membiarkannya membuka hati. Aku malah menyarankannya untuk secepatnya mencoba menjalani hubungan dengan pria lain. Pria yang mungkin bisa memberikan apa yang selama ini dicarinya.
Yang mungkin tidak ditemukannya dalam diriku.
Kemapanan.
Ya. Aku menyarankan Herlina untuk coba menjalin hubungan dengan pria lain.
Mencoba mengenali sosok pria yang lain. Untuk membuka wawasannya. Seperti apa laki-laki sesungguhnya.
100 hari. Itulah waktu yang kuberikan untuk Herlina. Juga waktu untuk diriku sendiri.
Mencoba berpikir. Mencoba memahami perasaan sendiri.
Mencoba menyelami jauh kedalam dasar hati.
Benarkah aku orang yang dia cari?
Benarkah dia orang yang aku cari?
Benarkah ia sudah siap untuk melangkah bersamaku?
Benarkah ia sudah siap menghabiskan seluruh sisa hidupnya hanya denganku saja?
Keputusan yang aneh, begitu mungkin menurut orang lain. Tapi aku juga tak mungkin menunggu keputusannya seumur hidup. Aku juga punya hidup. Dan hidupku bukan hanya milikku sendiri. Masih banyak orang yang berharap dan bergantung padaku. Aku sudah bertekad. Keputusan sudah kuambil. Komitmenku pada rencana ini harus kuat.
Dan sebuah Diary diawali...