Disekolah pun aku bukan termasuk anak yang pintar. Prestasiku biasa-biasa saja. Aku tidak menyukai pelajaran apapun malah cenderung sangat malas kalau disuruh belajar berhitung. Aku benci matematika. Tapi semua berubah sejak aku mengenal bahasa inggris. Pelajaran yang menurut kebanyakan teman-teman sebayaku menyebalkan, malah dengan mudah kucerna. But that's it. Hanya itu yang aku punya. Aku benar-benar pelajar payah.
Di sekolah pun, aku sering menjadi sasaran bully. Sejak kecil, aku memang kurus, tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Cukup tinggi untuk anak seumurku memang, tapi tetap saja kurus. Makanya sering jadi incaran anak-anak yang berbadan lebih besar. Aku sering dikerjai habis-habisan, karena mereka tahu, aku tidak akan (atau tidak bisa) melawan. Cara termudah untuk selamat hanya satu. Menghindar. Mengadu kepada guru tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi kalau kamu seorang guru, ingatlah untuk memperhatikan anak yang cenderung pendiam dan berbadan kecil. Kemungkinan ia adalah sasaran empuk untuk di-bully anak-anak yang lebih besar badannya. Dan kalau kamu pikir disekolahmu ada seorang freak yang enak buat dijadikan bahan bercandaan, ingatlah, kalau kami para freaks akan mengingat seumur hidup perlakuanmu kepada kami. Ho ho.... Lihat saja.
Aku juga tidak suka olahraga. I hate all kind of sports. I sucks on all kind of sports. Bagiku, tidak ada yang lebih menarik daripada menunggu bel waktu pulang dan secepatnya berlari ke game center terdekat. Main video game. Itu adalah duniaku. Semacam tempat sakral yang memenuhi semua hasrat kanak-kanakku. Satu-satunya tempat dimana aku bisa menjadi jagoan yang menghajar semua musuh-musuhku dengan tangan sendiri. I am somebody. Entah apapun itu.
Waktu SD, aku pernah suka pada seorang teman sekelas. God, she was like heaven to me. Seorang gadis kecil, dengan senyumnya yang manis, dengan tutur katanya yang lembut, bisa membuat seorang freak sepertiku bisa salah tingkah kalau bertatap mata dengannya. Satu-satunya anak yang mungkin bisa memberikan aku alasan yang tepat untuk datang ke sekolah. Hehehe... namanya juga cinta monyet. Namanya Eitri. Aku pindah kekota waktu kelas 4 SD. Dan sejak itu juga, aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya. Sudah hampir 20 tahun. Ketika SMP, ibu pernah bilang kalau ibu berjumpa dengannya di pasar (waktu itu kami sudah tinggal di kota) dan Eitri mencariku (kata ibuku lho...). Sekarang ini aku memang sudah kembali tinggal di kampung halamanku, tapi entah kenapa, aku tidak pernah berusaha mencarinya, walaupun sebenarnya aku kepingin tahu juga. Seperti apa dia sekarang? Mungkin nanti lah, kapan-kapan aku mau mencari tau keberadaannya.
Di SMP pun, aku juga pernah sangat kagum pada seorang wanita (lho?). Iya, seorang wanita dan bukan gadis kecil sebayaku. Aku sangat mengagumi guru bahasa inggrisku. Cantik, ramah, lembut, pokoknya benar-benar wanita sejati dimataku dan yang pasti, dia masih single! Aku selalu ingin pelajarannya tidak usah berakhir, dan kalau perlu seharian disekolah tidak usah ada mata pelajaran lain selain bahasa inggris. Hahahahahaha.... Dan bu guru ku yang cantik ini pula yang pertama mengenalkan aku pada sakitnya patah hati. Rasanya benar-benar menyakitkan ketika mengetahui ia sudah menikah. Pelajaran yang diberikannya pun sepertinya tidak menarik lagi buatku, dan aku mulai sering melawan kalau diajarkan. Untuk ibu guruku yang cantik dan baik hati, terima kasih sudah menginspirasi aku. Dan terima kasih sudah mengajarkanku rasanya patah hati di usia yang masih sangat muda. Hahahahaha... This one for you.
Tapi bukan berarti aku tidak normal dan suka perempuan yang lebih tua saja lho. Ada juga teman sekelas yang aku suka di SMP. Yang ini benar-benar sebaya, namanya Rina. Rumahnya kebetulan hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahku. Aku sering pura-pura lewat depan rumahnya, naik sepeda atau jalan-jalan sendirian cuma buat melihat atap rumahnya. Gak berani melihat ke dalam apalagi memanggil orangnya. Takut.
Ada juga teman yang lain (yang ini laki-laki) yang suka padanya. Tapi nggak pernah ditanggapi Rina. Kalau menurutnya sih, anak ini kasar dan sok kaya. Lagian kita masih kecil, tugas kita belajar, belum boleh pacaran dulu, gitu kata Rina sih.
Sebuah pengalaman yang sampai saat ini tidak akan pernah kulupakan adalah ketika si anak sok kaya ini mencoba menyentuh Rina. Cuma ditepis dengan elakan oleh Rina. Tapi ia tidak menyerah dan terus mengejar. Saat itu aku cuma duduk terdiam, seperti dipaku mati dibangku ku. Aku sempat melihat tatapan mata Rina seperti minta bantuan padaku. Tapi lagi-lagi aku cuma bisa diam dan pura-pura tidak melihat. Aku benar-benar pengecut. What a loser!